Oleh Dony Anggara
DISKURSUS masalah golput atau golongan putih di tanah air semakin menjadi-jadi ditengah tenggat pemilu 2019 yang tinggal beberapa bulan. Ditambah lagi setelah publik menyaksikan secara langsung debat pertama capres dan cawapres yang cenderung tidak subtantif dan tidak ada korelasinya dengan kepentingan atau apa yang di ingin kan oleh rakyat. Debat yang seharusnya menjadi pembuktian bahwa golput tidak akan menjadi masalah pada pemilu kali ini karena disitulah ajang jual beli gagasan yang akan membuat rakyat percaya kenapa ia harus dipilih untuk lima tahun yang akan datang. Namun Hal tersebut justru menjadi sebaliknya, publik menjadi semakin yakin untuk tidak menggunakan hak pilihnya alias golput.
Yang menjadi persoalan, Apa sesungguhnya golput ini? Komisi Pemilihan Umum (KPU) memaknainya sebagai pemilik hak pilih dalam pemilu yang tidak menggunakan hak pilihnya. Ringkasnya pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya. Istilah Golongan putih atau golput ini pada awalnya adalah salah satu bentuk gerakan protes dari para mahasiswa dan pemuda untuk memprotes pelaksanaan pemilu pertama pada masa orde baru. Tokoh yang terkenal memimpin gerakan ini sekaligus sebagai pencetus nya ialah Arief Budiman, Imam waluyo dan kawan-kawan. Gerakan tersebut menganjurkan agar mencoblos bagian putih di kertas surat suara yang artinya pilihannya dianggap tidak sah.
Pro kontra masalah golput sangat gencar mencuat di tengah-tengah masyarakat. Tentu ada alasan kenapa masyarakat ingin golput, salah satunya ialah ketidakpuasan masyarakat akan apa yang disuguhkan oleh para calon-calon pemimpin, Output macam apa yang akan di dapatkan oleh masyarakat sehingga menimbulkan ketidakpercayaan dalam masyarakat. Masyarakat juga menganggap golput merupakan pilihan sebagai salah satu bentuk penghukuman dan koreksi atas praktik poitik demokrasi di indonesia. Hal tersebut dibalas dengan masyarakat yang tidak setuju dengan adanya golput, mereka beranggapan bahwa cara terbaik untuk memperbaiki demokrasi kita adalah dengan menggunakan hak pilih, golput justru merupakan salah satu bentuk membiarkan kekacauan terhadap proses demokrasi kita.
Ada banyak survei tentang angka golput salah satunya penulis kutip dari tirto.id, angka golput memuncak pada pileg 2009 yaitu sebesar 29,10 persen. Meningkatnya angka golput menandakan bahwa semakin tidak percayanya masyarakat terhadap proses demokrasi kita. Semakin meningginya angka golput menyebabkan adanya delegitimasi terhadap pemilu. Rasionalitas masyarakat yang menganggap tidak adanya kepuasaan terhadap pelaksanaan pemilu kita terlebih yang ujung-ujungnya ialah masalah kekuasaan semakin menjadikan golput adalah pilihan yang tepat untuk pemilu kali ini.
Polarisasi
Pemilu kali ini hendaknya seperti Pasar yang di dalamnya ada jual dan beli. Ada yang ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan atau permintaan dan penawaran, dan yang pastinya sama-sama untung. Ada kepuasan didalamnya, Masyarakat dapat membeli sesuai apa yang di inginkan dengan segala bentuk penawaran dari si penjual sehingga terjadi saling memenuhi satu sama lain. Begitu pula dengan proses demokrasi kita, Golput tidak akan terjadi apabila dalam pelaksana pemilu ada feedback atau saling menguntungkan dan saling memuaskan diantara calon pemimpin dan pemilih, kemudian timbul kepercayaan dari masyarakat untuk memilih calon pemimpin tersebut.
Dengan adanya hal tersebut masyarakat bisa mudah menggunakan hak pilihnya untuk memilih calon pemimpin yang di inginkannya sehingga angka golput akan menurun. Gunakan pilihan untuk memilih pemimpin yang baik dan jangan sampai pemimpin yang buruk terpilih. Indikator suskesnya pemilu dilihat dari besar atau tingginya partisipasi pemilih. Memang dengan tingginya angka golput tidak mempengaruhi proses pemilu, berapapun jumlah pemilih yang tidak golput tetap dihitung dan tetap sah, akan tetapi itu merupakan hal yang sangat memprihatinkan di negara kita yang notabene negara demokrasi ini dan justru sekali lagi menimbulkan delegitimasi terhadap penyelenggaraan pemilu di tanah air.
Rasionalitas
Selama tidak ada konstitusi yang mengatur tentang menggunakan hak pilih itu wajib, tidak ada larangan ataupun masalah untuk tidak menggunakan hak pilihnya karena hanya sebatas hak dan bukan merupakan kewajiban. Lantas siapa yang disalahkan? Menurut penulis tidak ada yang perlu disalahkan. Ini hanya masalah rasionalitas si pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya dengan alasan tertentu. Lantas bagaimana solusinya? Pendidikan politik adalah opsi yang paling tepat saat ini. Harus ada lembaga yang memfasilitasi hal tersebut. Memberi pemahaman kepada pemilih apa yang terjadi jika tidak menggunakan pilihannya, bagaimana untuk berfikir cerdas dalam mengartikan narasi-narasi politik oleh calon pemimpin dan sebagainya.
Partisipasi masyarakat sangat di butuhkan pada pesta demokrasi kali ini dengan perayaan yang mengembirakan untuk menyambut datang nya seorang pemimpin yang kedepanya dapat menjadi harapan bagi seluruh masyarakat. Para calon pemimpin hendaknya juga begitu, lakukan segala hal yang nantinya dapat mewujudkan harapan dari seluruh masyarakat. Karena masyarakat akan bersaksi dengan tuhan nya didalam bilik suara dan diatas surat suara untuk memilih dan meletakan kepercayaanya kepada calon pemimpin yang ia pilih untuk kedepan dapat memimpin dan mensejahterakan bangsa dan negara ini. Golput memang pilihan, pilihan untuk tidak memilih, tidak salah, perlu disadari dan di ingat bahwa 5 menit dalam bilik suara dapat menentukan arah kehidupan kita 5 tahun yang akan datang, jadi jangan sia-siakan hak pilih anda dan jangan sampai ada golput diantara kita. (***)
Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik Universitas Jambi