SEJAK 6 bulan terakhir petani sawit hidup dalam gelisah. Mereka mengeluh harga sawit terjun bebas di pasaran. Akibatnya, banyak petani sawit yang tak mampu menghidupi kekuarganya. Ekonomi petani hancur berantakan.
Itu dikatakan Murady Darmansyah kepada Jambi Link, kemarin. Murady tahu langsung informasi itu dari para petani sawit. Menurut Murady, kehancuran ekonomi warga bisa berdampak buruk. Salah satunya akan memicu munculnya kriminalitas.
“Bahaya kalau begini terus. Harga barang petani anjlok sementara harga kebutuhan sehari hari terus meningkat. Pencuri sudah mulai meraja lela di mana-mana. Sudah 6 bulan harga kopra dan sawit anjlok,” kata Murady menirukan keluh kesah petani asal Jambi yang disampaikan langsung kepadanya belum lama ini.
Perkebunan kelapa sawit memang menjadi andalan ekonomi bagi sebagian besar masyarakat Jambi. Selama ini meningkatnya permintaan pasar dunia turut mengubah nasib petani sawit di Jambi yang menjadi lebih makmur dan sejahtera. Namun, euforia kegemilangan ekonomi kelapa sawit tersebut kini terhenti. Gara-garanya harga kelapa sawit anjlok. Anjloknya harga sawit di tingkat petani dirasakan begitu memukul. Terlebih sawit menjadi sumber ekonomi utama mencari nafkah.
Jauhnya lokasi kebun dengan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) juga dianggap menyebabkan harga sawit anjlok lebih horror yaitu hanya Rp 400 per kilogram. Petani cuma menerima pendapatan bersih Rp 200 per kilogram, dipotong ongkos panen sebesar Rp 200 per kilogram. Bayangkan, ketika harga Rp 1300/kg dengan mendapat 3 ton petani bisa dapat pendapatan bersih Rp 3,3 juta setelah potong ongkos panen. Kini hasil panen 3 ton petani hanya memperoleh pendapatan bersih antara Rp 600 ribu sampai Rp 2 juta. Belum termasuk biaya pupuk, pestisida dan perawatan rutin.
Tentu, bagi sebagian petani yang mata pencaharian hanya mengandalkan sawit, ini menjadi pukulan telak mematikan. Kepala menjadi pusing tujuh keliling. Mereka hidup dibawah tekanan. Harus memikirkan strategi lain guna mencari penghasilan tambahan di luar sawit. Untuk menutupi biaya hidup.
Saking terpuruknya, kata Murady, warga yang punya kebun sawit 3 ha saja masih tetap miskin. Dengan kebun 3 ha itu mereka mengaku tidak cukup memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Ditambah lagi harga-harga sembako sudah mulai merangkak naik.
“Para petani lapor kesayangan, mereka bilang Bahaya ini Bang. mereka sudah malas kerja. Kebun-kebun sudah banyak yang tidak terurus.Kondisi petani sekarang makin parah,” jelas Murady.
Politisi Gerindra ini kemudian mengkritik kinerja pemerintah. Murady mengatakan kesulitan ekonomi yang dihadapi warga akibat kebijakan dan kegagalan pemerintah.
“Ini sebuah bentuk kegagalan pemerintah dalam memastikan ekonomi warga stabil dan bisa bertumbuh,” katanya.
Murady mengaku boleh jadi buruh tani di jawa tidak merasa terdampak. Karena mereka hanya menjadi buruh pabrik, buruh tani. Sementara yang merasakan dampak secara langsung dari hancurnya harga sawit adalah para buruh tani.
“Saat ini petani sawit gelisah dan frustrasi,” ujarnya.
Murady berharap pemerintah Jokowi yang masih punya sisa waktu memegang kendali kekuasaan, benar-benar serius memikirkan kegelisahan para petani itu. Hanya satu harapan Murady, petani sawit bangkit lagi. (*)