Oleh Mursalina Utami
MENURUT Kamus Oxford, Body Shaming merupakan tindakan atau praktik mempermalukan seseorang dengan membuat komentar mengejek atau krirtis terhadap manusia dari fisik, bentuk tubuh dan ukurannya.
Semakin berkembangnya teknologi, kemudahan pemenuhan kebutuhan manusia sangat mudah dilakukan. Namun, hal tersebut juga membuka gerbang peluang akan terjadinya penyimpangan sosial masyarakat, termasuk budaya negatif body shaming. Kejahatan ini sering terjadi didunia nyata, terlebih didunia maya.
Menurut pendataan dari Laporan Tetra Pax Index 2017, 132 juta masyarakat Indonesia merupakan pengguna internet, dan terdapat 106 juta masyarakat Indonesia yang menggunakan media sosial. Angka yang fantastis sehingga membuat Indonesia menempati peringkat ke 8 pengguna media sosial terbanyak di Asia Tenggara. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia menggunakan internet dan media sosial. Oleh karena itu, kemungkinan terjadinya body shaming di media sosial semakin meningkat seiiring dengan semakin ramainya pengguna media sosial.
Orang-orang yang sedang berproses, belajar, menemukan jati dirinya bisa kehilangan antusias karena komentar dan jugde yang dilontarkan dalam hal fisik. Oleh kejahatan ini, keberanian seseorang pun tak luput dikurasnya. Mulai dari komentar wajah, bentuk tubuh, warna kulit dan sebagainya.
Dampak buruk body shaming
Body Shaming juga dekat hubungannya dengan bullying. Body shaming menjurus ke bullying yang belakangan ini marak terjadi. Bullying menjadi perhatian Kementerian Sosial dilihat dari data survei, sebanyak 84 persen anak usia 12 tahun hingga 17 tahun pernah menjadi korban bullying. Dari layanan yang dibuka Kemsos melalui telepon sahabat anak (Tespa), sejak Januari hingga 15 Juli, tercatat ada 976 pengaduaan dan 17 adalah kasus bullying.
Pergaulan keseharian masyarakat Indonesia yang mayoritas senang berkumpul, mengisi waktu luang dengan bertemu orang-orang yang dianggap cocok untuk bercerita dan dalam hal postif untuk memecahkan masalah. Tapi nyatanya, di sisi lain tidak bisa dipungkiri bahwa tidak sedikit yang dibicarakan adalh tentang orang lain dan tak jarang menyinggung masalah fisik seseorang (body shaming).
Ratih Zulhaqqi, seorang Psikolog anak dan remaja telah menjelaskan bahwa Body Shaming memberi efek yang serius pada psikologi seseorang, antara lain rendahnya percaya diri, berdampak pada self concept atau konsep diri yang menjadi buruk, dan self image atau gambaran diri menjadi turun.
Hal tersebut juga mendukung bahwa Body Shaming berbahaya bagi manusia dan berakibat pada gangguan fungsi mental secara signifikan. Efek yang ditimbulkan akan sangat jelas jika korban tindakan body shaming ini adalah anak-anak hingga remaja. karena dimasa-masa tersebut manusia dibentuk dan diberi input oleh lingkungan yang memegang posisi penting pemberi pengaruh.
Kemungkinan Stress akan terjadi dalam waktu yang lama dan pada akhirnya mendorong korban melakukan bunuh diri. Sangat menyedihkan. Dampak-dampak tersebut memang berawal dari hal kecil yang kemudian membentuk siklus sebab-akibat yang cenderung bermuara menuju masalah yang lebih serius.
Hak Asasi Manusia
Pasal 27 ayat 3 UU ITE memang menyebut bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dapat dipidana paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750 juta.
Kitab Undang-undang Hikup Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan undang-undang No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-undang No.19 Tahun 2016.
Orang-orang yang melakukan body shaming ini di kesempatan kesehariannya dapat dikatakan adalah orang-orang yang kurang sibuk dengan produktivitasnya. Mengapa demikian? Hal ini terbukti dengan membicarakan orang lain, menilai orang lain, membanding-bandingkan fisik orang disekitarnya. Penyimpangan ini akan terus terjadi dengan pelaku yang sama ditempat manapun jika memang itu telah menjadi kebiasaannya dalam menghadapi kehidupan sosial masyarakat yang beragam.
Frekuensi tindakan body shaming juga tergantung pada lingkungan. Karena di lingkungan akademis, seperti sekolah dan kampus body shaming lebih rendah angkanya dibanding dengan angka pada lingkungan masyarakat awam. Dalam hal ini, dapat disimpulkan bahwa semakin ‘dewasa’ seseorang dnegan sikap menghargai perbedaan, dengan pendidikan maka kemungkinan terjadinya kejahatan bullying, body shaming dan tindakan sejenisnya dapat ditekan hingga tidak banyak lagi anak-anak kecil yang tertekan keberaniannya, tidak ada lagi remaja yang depresi dengan jati dirinya dan tidak ada lagi pemuda yang kehilangan arah kemandirian serta kepercayaan dirinya.
Langkah kecil yang harus kita terapkan adalah berhenti memaksakan keberagaman yang indah menjadi sebab terpecah. Indonesia dengan Bhinneka Tunggal Ika, keberagaman ciri khas tiap suku, agama dan bahasa akan tentram jika seluruh rakyatnya mau belajar menghargai perbedaan dan belajar persatuan. Hal terdekat untuk melatih terbiasa dengan hidup keberagaman yang rukun adalah dengan berhenti melakukan body shaming. Karena setiap orang istimewa dengan dirinya masing-masing. Persatuan dengan warna-warni perbedaan tentu akan menjadi pelangi yang indah bukan? (***)
Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Analis Keuangan, Politeknik Negeri Semarang