Oleh Syahrial Darmanto
MEMASUKI tahun politik 2019, salah satu bagian yang menarik dalam ajang lima tahunan pesta demokrasi Indonesia ini ialah bagaimana calon presiden dan wakil presiden menyampaikan narasi-narasi politik guna mengambil hati masyarakat dan juga sebagai “senjata” di antara dua kubu, yaitu Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno. Jika kita melihat dan menganalisis lebih jauh terkait narasi politik yang kerap digaungkan oleh kedua kubu, baik di media cetak, televisi, dan juga media online, tentu saja acap kali menimbulkan sebuah respon ditengah masyarakat. Baik respon yang positif maupun negatif. Respon itulah yang menyebabkan polarisasi opini publik terhadap narasi – narasi yang dilontarkan kedua kubu.
Politikus Sontoloyo Vs Tampang Boyolali
Narasi politik yang bersebrangan antara kedua kubu semakin memanas, misalnya saja pada tanggal 22 Oktober 2018 dalam acara pembagian 5.000 sertifikat tanah di Lapangan Sepakbola Ahmad Yani, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Jokowi mengatakan, masyarakat harus berhati-hati, banyak politikus yang baik-baik, namun ada juga politikus yang ‘sontoloyo’. Tafsir dari kalimat ‘sontoloyo’ ini disampaikan Jokowi berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang menggelontorkan anggaran 3 Triliun Rupiah untuk dana kelurahan pada tahun 2019 yang akan datang. Kebijakan tersebut, menurut Jokowi dilihat oleh kelompok oposisi sebagai suatu kebijakan yang negatif. Jika kita analisis lebih jauh, secara litterlijk, kata sontoloyo mempunyai arti konyol, tidak beres, atau bodoh. Istilah ini biasanya dipakai sebagai kata makian ataupun cacian
Namun, sebagian kalangan memaklumi kata yang diucapkan Jokowi tersebut. Apalagi kata sontoloyo ditujukan kepada politikus yang selama ini dianggap memainkan politik yang sudah di luar akal sehat. Salah satu yang membuat Jokowi kesal adalah terkait dengan rencana pengguliran dana kelurahan pada tahun depan.
Tidak berjarak lama dari statement Jokowi mengenai ‘politikus sontoloyo’, Prabowo dalam pidatonya ketika meresmikan posko pemenangan di Kabupaten Boyolali pada Selasa 30 Oktober 2018 kembali membahas mengenai tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia yang semakin rendah. Prabowo mengambil perumpamaan wajah masyarakat Boyolali yang belum merasakan kesejahteraan, dan tidak pernah menginjakkan kaki ke hotel-hotel dan mall yang megah. Karena bagi Prabowo, hotel-hotel dan mall tersebut hanya diperuntukkan untuk orang-orang yang kaya.
“Kalian kalau masuk, mungkin kalian diusir. Tampang kalian tidak tampang orang kaya, tampang-tampang kalian ya tampang orang Boyolali ini. Betul?,” kata Prabowo kepada para pendukungnya.
Kemudian, pidato “tampang boyolali” yang disampaikan oleh Prabowo tersebut menjadi serangan kubu petahana. Seperti yang dilontarkan oleh Abdul Kadir Karding, wakil ketua tim pemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin, pernyataan Prabowo telah menyinggung perasaan masyarakat Boyolali. Dan pernyataan tersebut, menurut Kadir tidak pantas diucapkan oleh pempimpin seperti Prabowo.
Polarisasi Opini Publik Akibat Narasi Politik yang dilontarkan.
Polarisasi opini publik merupakan suatu kondisi di dalam masyarakat dimana warga terbentuk menjadi dua kutub yang bersebrangan dalam menyikapi sebuah isu, kebijakan, ideologi, atau bahkan narasi-narasi yang dilontarkan oleh elite politik yang saat ini telah mewarnai perpolitikan di indonesia. Jika kita lihat contohnya saja baru-baru ini dua narasi berbeda yang dilontarkan oleh kedua calon presiden yaitu jokowi dengan ‘politikus sontoloyo’ dan Prabowo dengan narasi ‘Tampang Boyolali’ kedua narasi tersebut saat ini tengah hangat dalam perbincangan masyarakat bahkan didalam media sosial tengah menjadi trending topic.
Seperti yang sempat penulis singgung diawal tadi dimana, narasi-narasi politik merupakan senjata agar dapat mengambil hati pemilih. Namun, terkadang narasi tersebut justru menimbulkan kontroversi ditengah publik, kontroversi akibat narasi itulah yang menyebabkan publik saat ini terbelah menjadi dua kutub berbeda seakan sedang berperang akibat narasi-narasi yang dilontarkan oleh kedua calon tersebut. Posisi publik saat ini tengah terpolarisasi, terlihat jelas kedua pendukung ataupun simpatisan bahkan publik awam pun masuk dalam polarisasi tersebut. Lihat saja media sosial saat ini tengah ramai perbincangan ditengah konten-konten kedua narasi tersebut, ditambah lagi media massa yang cukup intens memberitakan kedua narasi tersebut, ini mempertegas polarisasi ditengah publik.
Semangat Narasi Gagasan
Sudah saatnya narasi-narasi ‘politikus sontoloyo’ dan juga narasi politik ‘Tampang Boyolali’ dihentikan, saatnya membangun sebuah narasi perdamaian untuk memecah polarisasi opini punlik ditengah masyarakat. Dalam kesempatan ini semangat narasi gagasan haruslah dilontarkan, narasi politik yang mengedepankan program-program juga harus digaungkan. Sekarang sudah tidak jaman lagi saling adu domba dan juga saling fitnah, sudah semestinya narasi-narasi yang dilontarkan mengedepankan adu gagasas, adu program, ide, prestasi, bahkan rekam jejak
Atas dasar itulah penulis meyakini bahwa publik menginginkan praktik-praktik narasi ‘Polotikus Sontoloyo’ dan ‘Tampang Boyolali’ segera diakhiri sehingga dua kutub berdeda yang tengah terpolarisasi tidak semakin memanas. Kemudian Deklarasi “Kampanye Damai Pemilu 2019” yang digelar oleh KPU pada September lalu jangan sampai hanya omong kosong saja, sebab deklarasi tersebut dapat meminimalisir ujaran kebencian, serta menjauhi dari praktik politik uang.
Terakhir penulis mengingatkan bahwa kita memasuki masa kampanye pemilu terpanjang dalam catatan sejarah pasca reformasi (203 hari). Kampanye yang cukup panjan tersebut harus dapat digunakan sebaik-baiknya oleh para calon maupun pendukung dan simpatisan untuk melakukan kampanye gagasan atau kampanye program-program. Jangan sampai masa kampanye tersebut justru banyak diisi dengan narasi-narasi ‘Politikus Sontoloyo’ dan narasi ‘Tampang Boyolali’. (***)
Penulis adalah Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Jambi