Oleh Erman Episabri
TAHUN 2018 memasuki tahun politik. April 2019 mendatang bangsa ini akan kembali melaksanakan pesta demokrasi yaitu pemilu. Pileg dan pilpres akan mewarnai 17 April 2019, momentum rakyat memilih pemimpin, kaputusan hanyalah di tangan rakyat sebagai negara yang berdaulat dengan sistem demokrasi. Sebagai negara demokrasi, pemilu adalah prasyarat demokrasi, di mana para figur dengan mengendarai partai masing-masing akan bertarung untuk kepemimpinan lima tahun kedepan.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapakn dua pasangan calon yang akan bertarung pada pilpres mendatang yaitu; Pasangan nomor urut 01 Jokowi Ma’ruf dan Pasangan nomor urut 02 Prabowo-Sandi. Paslon Jokowi-Ma’ruf di dukung oleh partai, PDIP, Partai Golkar, Partai Nasdem, PKB, PPP, PKPI, PSI, dan Perindo. Sedangkan Prabowo-Sandi, di dukung oleh partai Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS.
Pilpres akan berlangsung kurang lebih lima bulan lagi, namun suhu politik kian memanas, antar kubu saling serang demi mempengaruhi rakyat. Dinamika timses saling membela Paslon masing-masing kiat gesit menyampaikan argumen yang belum bisa di anggap kebenaran. Retorika berdasarkan data akan memperkuat dukungan antar calon, suara yang lantang, perdebatan akan menjadi tontonan rakyat di tanah air.
Hal mengejutkan terjadi ketika Paslon nomor urut 01 Jokowi Dodo meminta kepada lawan-lawan politiknya untuk menghentikan politik kebohongan, karena sebagian dari politisi yang menjadi pesaingnya tersebut selalu menyampaikan hal yang tidak berdasarkan data. Ironisnya apa yang di sampaikan Jokowi tersebut, justru sebaliknya kubu lawan menyatakan, yang melakukan politik kebohongan selama ini adalah pemerintah yang berkuasa empat tahun belakangan ini.
Kemudian pada kesempatan yang berbeda, Jokowi kembali melontarkan kalimat yang mengundang reaksi public tanah air dengan menyebutkan politisi sontoloyo. Paslon nomor urut 01 ini menyampaikan hal tersebut bukanlah tanpa dasar, dimana beliau memandang bahwa terdapat politisi-politisi tanah air yang menggunakan cara-cara yang tidak beradap demi mendapatkan simpati dari rakyat. Beliau juga mengatakan bahwa politik itu ada tata kramanya, dengan demikian fitnah, isu sara, adu domba sudah tidak relevan lagi pada zaman sekarang. Hal ini di sampaikan oleh Jokowi sebagai bentuk kekesalan beliau, selalu mendapatkan kritikan yang pedas dan tajam dari oposisi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sontoloyo berarti konyol, tak beres, bodoh. Kata tersebut dipakai sebagai kata makian. Nah, ternyata tidak hanya Jokowi saja tokoh yang mengucap kata tersebut. Dulunya, presiden pertama RI Soekarno juga pernah memakai kata yang sama. Kata tersebut bahkan disandingkan di samping nama agama dalam bukunya yang berjudul Islam Sontoloyo pada 1940. Viralnya kata tersebut menimbulkan banyak reaksi. Lucunya, netizen memiliki banyak versi sontoloyonya sendiri. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA dalam twitternya menyatakan bahwa era politisi sontoloyo adalah ketika Sandiaga Uno disamakan dengan Bung Hatta, dan Ratna Sarumpaet disamakan dengan Cut Nyak Dien.
Politik kebohongan dan Politik Sontoloyo merupakan dua hal yang tidak jauh berbeda, karena kedua kalimat ini mengarah kepada sesuatu yang belum teruji kebenarannya. Dengan demikian, siapakah yang melakukan politik kebohongan dan politik sontoloyo, hanya rakyatlah yang bisa melihat faktanya, karena rakyat yang merasakan dari setiap kebijakan yang di laksanakan. (***)
Penulis adalah mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas