AKSI kekerasan akhir-akhir ini cukup menjadi sorotan di redaksi-redaksi maupun di media-media sosial. Postingan yang viral juga kerap kali mengundang perhatian lebih dari masyarakat. Fenomena ini merupakan sinyal baik karna kita dapat mengasumsikan bahwa kesadaran masyarakat akan isu gender ini meningkat. Masyarakat mulai menyadari bahwa ada yang salah dengan kejadian mengenai isu ini yang “dianggap biasa” disekitar.
Sebelum menunjukkan kejadian-kejadian yang masuk ke dalam kategori KBG, mari kita lihat apa itu sebenarnya KBG.
Kekerasan Berbasis Gender (KBG) adalah sekumpulan tindakan kekerasan yang terjadi sebagai hasil dari ketidaksetaraan gender atau secara tidak proporsional mempengaruhi salah satu gender. Menurut UU Nomor 7 Tahun 1984, Kekerasan Berbasis Gender adalah suatu bentuk diskriminasi yang merupakan hambatan serius bagi kemampuan perempuan untuk mendapati hak-hak dan kebebasannya atas dasar persamaan hak dengan laki-laki.
Ada beberapa bentuk kekerasan berbasis gender, antara lain : (1) Seksual; Fisik, Sosial dan ekonomi, Psikis atau mental, Praktek sosial atau budaya yang mebahayakan.
Jika sudah memahami apa pengertian KBG dan bentuk-bentuknya, mari kita lihat kejadian-kejadian KBG yang sering terjadi disekitar kita dalam kehidupan sehari-hari.
Pertama, kekerasan seksual. Kekerasan ini dapat terjadi dalam bentuk pemerkosaan, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, pelecehan seksual, pemyiksaan seksual, eksploitasi seksual,perbudakan seksual serta intimidasi atau serangan bercorak seksual.
Kontrol seksual, termasuk pemaksaan busana dan kriminalisasi perempuan lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.
KBG dalam bentuk kekerasan seksual ini terjadi bermula sejak adanya ancaman. Maka, dalam delapan contoh tindakan kekerasan seksual diatas, semua bentuk ancaman atas tindakan-tindakan tersebut adalah kekerasan seksual.
Kedua, kekerasan fisik. Bentuk kekerasan inilah yang paling mudah untuk di deteksi dalam kehidupan sehari-hari. Kekerasan fisik ini biasanya bermula dari aksi bullying yang terjadi di sekolah-sekolah. Mirisnya, bullying tidak hanya terjadi pada siswa-siswi menengah atas, tetapi bullying juga sudah dilakukan siswa-siswi menengah pertama dan sekolah dasar.
Ketiga, kekerasan sosial dan ekonomi. Kekerasan ini berakibat pada penelantaran ekonomi dan pemiskinan korban. Contoh yang nyata yang sering ditemui adalah penelantaran ekonomi yang dilakukan oleh suami terhadap istri dan anak. Mengingat pada zaman sekarang ini banyak anak remaja yang belum mempunyai kematangan untuk menikah dan menafkahi tetapi sudah menikah muda.
Keempat, kekerasan psikis atau mental. Kekerasan ini paling mudah dilihat tetapi sulit di deteksi efeknya. Kekerasan ini juga sering terjadi di sekolah. Ada 4 tipe anak disekolah yang kemungkinan melakukan atau mengalami kekerasan psikis ini, yaitu: anak yang populer, anak yang diabaikan, anak yang ditolak, anak yang kontroversial. Tanda-tanda yang mungkin muncul dari korbannya adalah rendah diri, emosional, pengucilan diri, suka menyendiri, dan kecemasan hingga menyakiti diri sendiri.
Kelima, praktek sosial/budaya yang membahayakan. Contoh praktek membahayakan ini seperti sunat perempuan (female genital mutilation), perkawinan paksa (forced or arranged marriage) dan perkawinan di usia dini (early marriage).
Kekerasan berbasis gender diatas memang sering terjadi pada perempuan. Perempuan sering dianggap gender kedua, dimana perempuan dianggap hanya bersifat emosional, cengeng dan tidak rasional.
Kekerasan terhadap perempuan dapat dilakukan oleh individu, kelompok bahkan institusi. Di era teknologi seperti sekarang ini, institusi media ikut mendukung kekerasan gender dalam bentuk iklan, sinetron, film, dan sebagainya.
Terdapat berbagai tantangan menghalang dari berbagai sektor untuk menghapuskan praktek kekerasan berbasis gender. Peran dari pemerintah, media dan stakeholder telah dilakukan, contohnya dengan menerapkan program anti bullying di sekolah.
Namun apa yang dapat kita lakukan? Kekerasan berbasis gender dapat kita cegah dimulai dari diri sendiri dan keluarga, memperbanyak edukasi dan informasi sebagai salah satu bekal untuk memerangi kekrasan gender di masyarakat luas. (***)
Penulis adalah Mahasiswi UIN STS Jambi