Oleh: Irfan Teguh
“Penyerangan tak membuat Novel Baswedan takut. Ia meyakini sedang berada di jalan yang benar dan berserah diri terhadap takdir Allah.”
Jakarta – Tiga belas bulan setelah wajahnya disiram air keras, Novel Baswedan masih bolak-balik ke Singapura untuk menjalani operasi dan belum bisa bekerja seperti semula. 16 Mei 2018, saya bertamu ke rumahnya, aparat berjaga di depan rumah dengan mendirikan sebuah pos tenda.
Di dalam, dekat kursi dan meja tamu, terdapat sebuah lemari kaca kecil berbentuk vertikal. Isinya sejumlah buku-buku keislaman yang cukup tebal. Ada buku Minhajul Muslim, Bulughul Maram, Fiqih Islam, Fiqih Wanita, Riyadhus Shalihin, Sirah Nabawiyah,dan masih banyak lagi.
Tak lama setelah menemui kami, Novel langsung bercerita mengenai kondisi terakhir matanya. Mungkin karena yang bertamu kerap menanyakan hal tersebut. Novel mengatakan sudah menjalani operasi sebanyak lima kali, dan masih harus kembali ke Singapura untuk operasi berikutnya.
“Jarak pandang saya cukup jauh, cuma berkabut. Dan yang diharapkan yang bisa melihat jelas yang kiri nanti [setelah operasi], insyaallah. Mestinya enggak terlalu gembul keluar begini, agak lebih masuk, cuma karena kemarin gigi saya dipasang [ke dalam mata], besar, jadi agak [menonjol] keluar,” ujarnya.
Mata kirinya yang sekarang nampak memutih dan hanya menyisakan titik hitam di tengah itu dilapisi jaringan gigi. Novel bercerita, gigi besarnya itu bermanfaat karena biasanya operasi yang menempatkan organ lain lama-lama akan habis. Gigi itu tak akan terlalu cepat habis diserap tubuh dan menahan jaringan baru yang tumbuh.
“Agak keluar sedikit enggak masalah,” katanya.
Ia lalu menjelaskan proses pemasangan jaringan gigi tersebut ke dalam mata. Mula-mula gusi dipapar, jaringan mata yang mati diambil agar tidak terlalu gembung, lalu ditempeli oleh jaringan gigi yang nantinya akan tumbuh.
“Tandanya bahwa dia tumbuh adalah ada selaput yang meliputi jaringan,” katanya.
Seperti awam lainnya, mulanya Novel heran ihwal pemasangan jaringan gigi tersebut ke dalam jaringan matanya. Namun, setelah mendapat penjelasan dari dokter yang menanganinya, lama-lama ia paham. Dokter ahli reflektor itu menjelaskan bagaimana retina mengubah cahaya menjadi sinyal. Selain itu, Novel juga melihat tayangan-tayangan di kanal National Geographic dan Animal Planet.
Dari tayangan-tayangan tersebut, Novel mendapati banyak hewan yang bisa hidup tanpa menggunakan mata. Kemampuan hewan-hewan yang berfungsi dan “melihat” tanpa mata tersebut ia kaitkan dengan soal mengasah hati.
“Orang bilang hati itu bisa melihat, tapi orang sekarang kan masalahnya jarang yang betul-betul mengasah hati,” ujarnya.
Perbincangan terhenti saat Novel pamit pergi ke masjid segera setelah mendengar azan Zuhur berkumandang. Kami melanjutkan obrolan di tengah kesibukan Rina Emilda, istri Novel, mengemas pakaian-pakaian yang diproduksinya untuk dikirim kepada pelanggan.
Obrolan kami dengan Novel beberapa kali terhenti karena ada tamu berkunjung dan berbincang-bincang dengannya atau sekadar bertanya sebentar ihwal kondisi mata lalu meminta foto bersama. Di saat cuti karena keterbatasan organ penglihatannya tersebut, Novel tak jarang disambangi tamu pada hari kerja.
Menasihati Para Tersangka
Setelah salat Zuhur, Novel bercerita tentang pengalamannya memasukkan nilai-nilai religius ke dalam pekerjaannya sebagai penyidik di KPK. Sekali waktu, katanya, ia menyidik seorang terduga korupsi. Ia meminta kepada terduga tersebut agar jujur dan mau mengembalikan uang hasil korupsinya. Rupanya si terduga menyangka bahwa jika ia memenuhi permintaan penyidik, maka ia akan terbebas dari jeratan hukum. Novel lalu menyatakan dengan tegas bahwa itu muskil.
“Bapak mau jujur, mau mulangin duit, tetap kena. Bapak kira kalau bapak enggak bohong, terus enggak kena? Enggak, saya kejar terus sampai kena. [Kalau lari] malah memberatkan. Tapi kalau bapak jujur, pulangin semua uangnya, pastilah bapak dapat pengurangan hukuman. Dan paling tidak, minimal bapak tidak berbuat dosa kembali,” Novel mengisahkan percapannya dengan sang terduga koruptor.
Setelah menjalani serangkaian proses hukum, orang yang ia sidik tersebut akhirnya divonis bersalah dan masuk lembaga pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung. Suatu hari, Novel mesti memeriksa lagi napi tersebut di Sukamiskin. Namun, sebelum pemeriksaan dimulai, napi tersebut sudah memanggilnya terlebih dulu.
“Novel sini, sebelum diperiksa aku mau ngomong. Yang dipanggil pun menghampiri sang napi. “Kamu tahu enggak? Kalau saya tahu arti hidup, disuruh memilih di sana [menduduki jabatan saya yang dulu] atau ada di sini, saya pilih ada di sini.”
Menurut napi kasus korupsi itu, selama di Lembaga Pemasyarakatan (LP), ia tak pernah berbuat maksiat. Salat tepat waktu di masjid dan kerap didaulat menjadi imam. Ia juga bisa melaksanakan ibadah-ibadah sunnah. Singkatnya, ia merasa senang dan bersyukur tinggal di LP.
Di lain kesempatan, Novel pernah mentersangkakan seorang pejabat publik yang dikenal cukup idealis selama bekerja dan kooperatif dalam pemeriksaan. Dalam proses penyidikan, Novel sempat sedikit goyah karena mempertimbangkan ucapan sang tersangka.
“Pak Novel, kalau saya kena, coba Pak Novel pikir, saya itu terkenal idealis, terkenal orang yang baik. Kalau saya kena, bagaimana bisa menjadi contoh, bagaimana bisa memicu orang untuk jadi baik. Malah nanti jangan-jangan orang-orang berpikir: jadi baik saja kena, mending jahat aja sekalian. Itu enggak bagus, Pak Novel,” Novel menirukan ucapan pria yang menjadi tersangka itu.
Namun, Novel cepat menyadari kekeliruannya. Kepada orang tersebut, ia katakan bahwa segala perbuatan itu ada pertanggungjawabannya, yakni di dunia dan akhirat. Novel mengatakan kepada orang di hadapannya bahwa hukuman di akhirat adalah hukuman yang tak seorang pun sanggup menanggungnya.
Proses hukum lalu berjalan sebagaimana mestinya. Meski kesal, orang tersebut tak bisa menyangkal. Vonis jatuh dan ia masuk penjara. Lagi-lagi, seperti kisah pertama, napi kedua ini pun berkata kepadanya, “Pak Novel, terimakasih, waktu itu saya berpikir hidup saya bakal hancur, keluarga bakal hancur, anak-anak segala macam terpengaruh semuanya dan lain-lain, ternyata sebaliknya yang terjadi: malah ini menjadi hal yang sangat baik. Dan saya bersyukur di waktu tua, saya punya waktu khusus buat ibadah.”
Dalam menjalankan tugasnya sebagai penyidik, ia tak membeda-bedakan agama orang yang ia periksa. Baginya, perspektif religius mesti disampaikan agar orang yang bersalah paham dan tak mengulangi perbuatannya.
Meski tak selalu terlalu dalam masuk ke wilayah tersebut, baginya ada pakem yang dijaga sesuai dengan visinya sebagai penyidik, yakni menolong orang yang bersalah dengan cara dan perspektif yang benar.
Kepada koleganya sesama penyidik, ia menyampaikan visinya tersebut. “Kawan-kawan, sadarilah ini untuk menghilangkan rasa enggak enak, rasa kasihan [terhadap terduga koruptor], kita harus punya visi yang jelas. Pertama, untuk menolong orang. Tersangka kita tolong. Pelaku kita tolong. Semua kita tolong. Tapi menolongnya dengan perspektif yang benar.”
Ia melanjutkan, “Ketika dia berbuat korupsi, tolong dia, caranya gimana? Segera kenakan dia sebagai tersangka untuk segera dihukum. Kenapa? Ketika dikenakan maka yang pertama kita bisa hentikan untuk sementara waktu [yaitu] dia tidak berbuat korupsi. Kedua, kita tolong dia agar pertanggungjawabannya tidak di akhirat. Nah, itu cara menolongnya.” (***)