MEI 1998 merupakan titik awal dunia baru negara Indonesia yang disebut dengan “Era Reformasi”. pada saat itu gerakan mahasiswa dari berbagai kampus mampu menggulingkan rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Banyak hal yang mendorong terjadinya aksi pada saat itu terutama akibat ketidakpuasan rakyat terhadap Presiden. Di awali oleh krisis ekonomi Asia yang berdampak besar pada ekonomi Indonesia pada pertengahan tahun 1977, dan harga minyak yang merangsek turun membuat mata uang rupiah jatuh, dan dolar naik sangat tinggi membuat kesulitan rakyat dimana-mana. Sehingga terjadi demonstrasi besar-besaran diseluruh wilayah Indonesia.
Puncaknya adalah terbunuhnya tiga orang mahasiswa Universitas Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998. Peristiwa itu memicu kemarahan para mahasiswa dan sebagian rakyat, sehingga terjadi demonstrasi besar-besaran yang dipimpin oleh mahasiswa, hingga menduduki gedung DPR/MPR untuk menuntut turunnya Presiden. Pada akhirnya presiden Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998 dan digantikan oleh Wakil Presiden B.J. Habibie. Setelah lengsernya pemerintahan orde baru yang menguasai negara selama 32 tahun, maka rakyat Indonesia mulai berbenah diri dengan mengadakan berbagai macam pembaharuan diberbagai bidang, dari mulai unsur pemerintah, perundang-undangan sampai kepada masalah ekonomi dan sosial.
Kini telah 20 tahun di Indonesia berada dalam Era Reformasi. Adalah keadaan yang diinginkan oleh rakyat Indonesia agar mampu keluar dari tekanan-tekanan pemerintah pada saat itu. Dimana sekarang siapapun dan bagaimana latar belakang sosial seorang diberikan kebebasan untuk menyampaikan suaranya terhadap pemerintah. Arah reformasi Indonesia yang diperjuangkan dengan membawa semangat nilai-nilai kemanusiaan, harus dijiwai dan dijunjung tinggi oleh siapapun yang berdasarkan kepada ideologi negara yakni Pancasila.

Pancasila sebagai Ideologi Negara
Dalam menjalankan negara Indonesia. Pancasila adalah ideologi negara sebagai the way of life dari seluruh rakyat Indonesia. Pun dalam merumuskan suatu kebijakan yang dilakukan oleh Stake Holders harus mampu menjiwai nilai-nilai yang berdasarkan kepada semangat Pancasila. Nilai-nilai tersebutlah yang kemudian termanifestasikan sebagai sarana pemersatu dan alat dalam penyelesaian konflik.
Berdasarkan narasi Historis lahirnya Pancasila, merupakan manifestasi dari elemen rakyat yang pluralis. Nilai-nilai yang telah ada pada bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala sebelum bangsa indonesia mendirikan negara, yang berupa nilai-nilai istiadat, kebudayaan serta nilai-nilai religius.
Setiap tanggal 1 Juni, berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 24 Tahun 2016. Pemerintah bersama seluruh komponen bangsa dan masyarakat Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila. Pada Perpres tersebut dijelaskan bahwa penetapan hari lahir Pancasila mengacu pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 Mei-1 Juni 1945.
Istilah Pancasila baru diperkenalkan oleh Presiden Ir. Sukarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945. Tetapi masih ada proses selanjutnya yakni menjadi Piagam Jakarta (Jakarta Charter) pada 22 Juni 1945 dan juga penetapan Undang-undang Dasar yang juga finalisasi Pancasila pada 18 Agustus 1945. “Bahwa rumusan Pancasila sejak tanggal 1 Juni 1945 yang dipidatokan Ir Sukarno, rumusan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 hingga rumusan final tanggal 18 Agustus 1945 adalah satu kesatuan proses lahirnya Pancasila sebagai Dasar Negara,” tulis perpres itu.
Dalam dinamikanya saat sebelum pengesahan Pancasila, terjadinya perdebatan pemikiran yang runcing oleh para Founding Fathers bangsa Indonesia. Tokoh yang terlibat saat itu adalah Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Soepomo, Muhammad Yamin dan beberapa tokoh besar ulama dengan latar belakang yang beragam yakni Haji Agus Salim, K.H. Wahid Hasyim (Nahdlatul Ulama), Ki Bagus Hadikusumo (Persyarikatan Muhammadiyah), Kasman Singodimejo (Persyarikatan Muhammadiyah).
Nah, berdasarkan kenyataan tersebut di sudah jelas bahwa negara indonesia dibentuk dengan percakapan yang baik oleh para pendiri bangsa. Dengan latar belakang berbeda yang mengedepankan persatuan berdasarkan musyawarah mufakat. Sehingga keputusan yang dihasilkan untuk kepentingan bersama dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Berkaca pada apa yang terjadi saat sekarang. Faktanya telah terjadi pelbagai konflik antar sesama elemen bangsa dan suasana yang tidak kondusif sekaligus menegangkan pada akhir-akhir ini. Dimana pada tanggal 13 Mei telah terjadi peristiwa aksi bom bunuh diri di pagi hari. Pelaku dari peristiwa tersebut oleh satu keluarga di tiga Gereja, di Kota Surabaya (Gereja Pantekosta, Gereja Kristen Indonesia, dan Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela). Peristiwa tersebut memakan belasan korban jiwa. sebelumnya juga terjadi kerusuhan di Mako Brimob Depok, Jawa barat. Kerusuhan yang menelan enam korban tewas. Lima dari korban berasal dari prajurit Polri dan satu korban dari napi teroris. kemudian aksi teror berlanjut lagi di Riau yang mengugurkan seorang anggota Polri.
Ketakutaan demi ketakutan yang dirasa oleh masyarakat akan teror yang terjadi akhir-akhir ini. Belum lagi potensi kegaduhan konstetasi politik tahun 2018 dengan digelarnya 171 pilkada secara serentak. Dan berbagai keadaan nan riuh dalam menyosong pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ditahun 2019. Perdebatan antara gerakan Kelompok yang saling mengklaim paling Pancasilais, toleran, dan tidak radikal, Dengan kelompok dicap sebagai Anti Pancasila, Radikal, dan Intoleran. hal itu sungguh menganggu kondisi Indonesia yang beragam dan akan meledak jika tidak ada solusi yang konkrit.
Akhir-akhir ini Publik dihebohkan dengan informasi yang beredar tentang besarnya gaji BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila). Yang dibentuk berdasarkan Peratuan presiden (Perpres nomor 7 tahun 2018). Seperti dikutip laman Setkab.go.id, badan ini mempunyai tugas membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila. Tidak tanggung-tanggung, berdasarkan Perpress Nomor 42 tahun 2018 tentang hak Keuangan Pejabat BPIP, para pejabat itu menerima gaji sekitar Rp Rp. 112.548.000 untuk posisi Ketua Dewan Pengarah BPIP, Rp 100.811.00 untuk anggota Dewan Pengarah BPIP, dan Rp 76.800.000 untuk jabatan Ketua BPIP. Angka tersebut terbilang fantastis jika dibandingkan dengan gaji Presiden maupun Menteri kabinet yang berada di kisaran Rp 30 Juta hingga Rp 60-an juta.
Besarnya gaji pejabat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menuai polemik dari banyak kalangan. Salah satunya Guru besar ilmu ekonomi dan peneliti senior Indef, Didik J Rachbini, menilai penetapan gaji yang besar ini menguras anggaran negara dan dianggap sangat boros. “Gaji di BPIP sebagai lembaga baru di luar kewajaran. Ini akan menguras anggaran negara secara boros dan tidak produktif”. (Republika 30/5/2018).
Dengan keadaan yang begitu riuh dan tegang akhir-akhir. Sungguh tak elok dihadapi dengan keadaan yang menegangkan dan tak kondusif yang disebabkan oleh politik yang penuh oportunis dan destruktif. Hendaklah masyarakat menahan diri dari sengkarut marut politik yang berpotensi memecah belah kehidupan berbangsa. Terlebih lagi kepada pemerintah yang seyogyanya harus berhati-hati dalam membuat kebijakan agar tidak menimbulkan konflik dan menganggu ketenteraman .
Sebagai epilog, melalui tulisan ini Penulis ingin mengajak kepada para pembaca yang budiman, dengan adanya momentum Reformasi yang berumur 20 tahun ini dan disertai peringatan Hari Lahirnya Pancasila, kita bisa menciptakan suasana yang aman dan tenteram. Mengedepankan dialog yang baik antar sesama dengan musyawarah mufakat berdasarkan Pancasila, yang merupakan semangat dari Reformasi itu sendiri. Dengan tujuan untuk Indonesia yang lebih baik dengan semangat persatuan seperti yang dicita-citakan oleh Founding fathers negara ini. (***)
Penulis adalah Seorang Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas