Oleh Yudriza Sholihin
ISLAM mengajarkan manusia untuk saling menghormati, saling memahami, dan saling memberi kebaikan. sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an,
”Wahai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS Al Hujurat: 13).
Manusia itu makhluk sosial. Aristoteles menyebutnya dengan istilah Zoon Politicon yang merupakan padanan kata dari kata Zoon yang berarti “hewan” dan kata Politicon yang berarti “bermasyarakat”. Secara harfiah Zoon Politicon berarti hewan yang bermasyarakat. Aristoteles menerangkan bahwa menusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain, sebuah hal yang membedakan manusia dengan hewan. Nah, Politik merupakan jembatan untuk mencapai nuansa masyarakat yang dijelaskan tersebut.
Manusia itu makhluk politik. Oleh karena itu, tidak mungkin dihentikan untuk berpolitik. Politik itu seni mengelola masyarakat. Politik yang konstruktif dan mencerdaskan merupakan impian yang luhur dari sebuah bangsa yang berperadaban luhur. Sedangkan politik yang destruktif lagi oportunis merupakan kebalikan politik yang bertujuan mulia, menyejahterakan warga, dan mengelola kepentingan bersama.
Tahun 2019 disebut sebagai tahun politik karena diadakannya pemilihan legislatif dan pemilihan presiden 2019 secara serentak pada tanggal 17 April 2019 mendatang. Partisipasi masyarakat menjadi sangat penting untuk menyukseskan pesta demokrasi ini agar tujuan politik yang mulia dapat diterapkan dan dinikmati oleh seluruh elemen bangsa.
Kaum Intelektual
Kaum Intelektual adalah kaum yang terpelajar. Mohammad Hatta mempersepsikan kaum intelektual sebagai kaum intelegensia. Bagi Hatta, kaum intelegensia tidak boleh bersikap pasif, menyerahkan segala-galanya kepada siapa yang kebetulan menduduki jabatan. seorang intelektual, jelas sebagai entitas yang diharapkan mampu memberikan pengimbangan peranan negara dalam pengelolaan politik, ekonomi, dan sosial. Hematnya mereka adalah pemikul tanggungjawab yang besar, lebih besar dari golongan yang lainnya karena kualitas yang dimilikinya sebagai seorang yang terpelajar.
Untuk menciptakan iklim politik yang kondusif dan menyehatkan maka amat perlu peranan dari semua elemen masyarakat terkhususnya kaum intelektual yang merupakan kelompok diharapkan memberikan kesejukkan dari kegaduhan politik yang panas.
Konstelasi Politik
Saat ini kita dipertontonkan dengan adegan-adegan politik yang amat jauh dari substansi warga negara yang ideal. Kita menyaksikan diskursus yang mengutamakan sentimen ketimbang argumen dan saling menghujat antar kelompok yang berbeda pilihan politik.
Ruang publik sampai ke dunia maya pun begitu bising karena perdebatan dengan menggunakan istilah yang tak semestinya dilontarkan, seperti cebong, kampret, atau tampang sontoloyo, dan tampang boyolali. Alhasil masyarakat yang notabenenya awam ikut-ikutan dalam kebisingan itu. Lebih parah lagi ada beberapa kaum elit politik juga ikut arus gelombang tersebut. Mereka tidak lagi berperan menjalankan tupoksi yang semestinya tapi ikut campur dalam merpekeruh suasana.
Selain dari itu persoalan yang sangat memperihatikan kita semua dimana apa yang diucap dan beredar diamini oleh masyarakat dan tidak selektif akan informasi yang bertebaran tersebut. Akhirnya kegaduhan pun makin bergelombang dan tak bisa dielakkan.
Perspektif Sosiologi
Dalam sosiologi, Auguste Comte mengemukakan tiga tahap perkembangan peradaban dan pemikiran masyarakat ke dalam tahap teologis, metafisik, dan positivistik.
Pada tahap teologis, meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini dikendalikan oleh kekuatan supranatural yang dimiliki oleh para dewa, roh atau tuhan. Kemudian tahap metafisik, manusia mengalami pergeseran cara berpikir. Pada tahap ini, muncul konsep-konsep abstrak atau kekuatan abstrak selain tuhan yakni alam. Segala kejadian di muka bumi adalah hukum alam yang tidak dapat diubah. dan yang terakhir tahap positivistik, dimana semua gejala alam atau fenomena yang terjadi dapat dijelaskan secara ilmiah berdasarkan peninjauan, pengujian dan dapat dibuktikan secara empiris. Tahap ini menjadikan ilmu pengetahuan berkembang dan segala sesuatu menjadi lebih rasional, sehingga tercipta dunia yang lebih baik dan lebih berkonsentrasi pada penelitian terhadap dunia sosial dan fisik dalam upayanya menemukan hukum yang mengaturnya.
Nah, dari penjelasan diatas dalam konteks politik, masyarakat awam berada pada tahap teologis dan bisa juga berada pada tahap metafisik. Sedangkan kaum intelektual adalah kelompok masyarakat yang berada pada tahap positivistik dimana mereka dalam melakukan tindakan dalam politik secara sadar dan disertai dengan landasan rasional yang bersumber dari ilmu pengetahuan.
Maka dari itu untuk menyosong tahun politik 2019, sesungguhnya hal yang sangat mendesak saat ini harus dilakukan oleh segenap pemangku kebijakan khususnya kaum intelektual adalah menghentikan kebisingan ini, segala bentuk hasutan, kebencian, dan persekusi yang pada akhirknya memecahkan masyarakat.
kaum intelektual seyogianya harus menjadi “pahlawan politik” dan menjadi problem solver dalam menyelesaikan pelbagai persoalan politik secara rasional untuk kemajuan pesta demokrasi yang konstruktif dalam rangka mencerdaskan kehidupan masyarakat. Karena pada hakikatnya politik hendaklah menjadi perayaan membahagiakan-menyenangkan dan dinikmati dengan bahagia, bukan penuh dengan kebisingan nan destruktif. Mari ciptakan kondisi politik yang cerdas dan kondusif demi kamajuan bangsa dan negara. Selamat Hari Pahlawan! (***)
Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Sosiologi Universitas Andalas