Oleh M Yordan Setiawan
SETIDAKNYA ada 2 pasangan calon yang bertarung pada pemilihan Presiden 2019, Jokowi-Ma’aruf Amin serta Prabowo-Sandiaga Uno. Namun, yang menarik pada kedua pasangan calon ini bukanlah mereka, tetapi latar belakang mereka yang berlaga di kontestasi politik 2019 ini yang menjadi titik perhatian penulis. Dimana kedua pasangan calon bahkan ketua tim pemenangan pun dari kalangan pengusaha.
Melihat fenomena tersebut timbul keresahan dari penulis dimana pada kontestasi politik 2019 sedikit banyak “nama” dari kalangan “pengusaha” bermunculan dalam pada kontestasi politik di Indonesia 2019. Ada 2 faktor yang menyebabkan penulis menentukan tema “Perang Pengusaha Pada Pilpres 2019”, pertama, melihat peran pengusaha yang terjun ke politik praktis timbul pertanyaan, apakah mereka memiliki kualifikasi yang baik untuk berpolitik atau ada motif lain di balik itu semua? kedua, apakah ini merupakan saluran komunikasi politik serta strategi marketing politik pasangan calon untuk menarik suara millenial?
Politik Dua Kaki
Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat begitulah kalimat yang pernah diutarakan oleh mantan Presiden Amerika Serikat ke-16. Terlebih lagi dibukanya keran demokrasi di Indonesia dengan dibuktikan di era demokrasi saat ini, banyak sekali pengusaha yang terjun dalam dunia politik.
Banyak dari kalangan pengusaha yang mengisi jabatan terlebih lagi kepengurusan partai atau maju dalam kontestasi politik baik sebagai legislatif atau eksekutif bahkan ketua tim kampanye pasangan calon yang bertarung pada jalannya perebutan kekuasaan di negeri ini.
Timbul pertanyaan, mengapa di era demokrasi yang “katanya” telah memasuki era Reformasi ini banyak pengusaha yang terjun di dunia politik praktis, apakah mereka memiliki kualifikasi untuk menjadi pejabat publik, atau ada motif lain di balik itu semua. Perihal motif, setiap masyarakat memiliki hak politik yang sama yaitu dapat turut berperan aktif dalam kehidupan berdemokrasi serta dapat memilih dan dipilih.
Kelompok dari kalangan pengusaha sangatlah heterogen, dimana mereka tidak membeda-bedakan siapa lawan, siapa kawan, yang diprioritaskan ialah hanya kepentingan bisnis saja terkhusus untuk mendapatkan “profit” di setiap gerakan yang dilakukan oleh gerakan yang dilakukan pengusaha.
Terlebih di kontesasi pilpres 2019 di satu sisi mendukung salah satu paslon, bukan berarti mereka melewatkan kesempatan untuk mendukung calon yang lain namun, dikarenakan orientasi pengusaha “profit” setidaknya mereka berkamuflase untuk mendukung calon lain. Sejatinya, pengusaha yang terjun di dunia politik pasti memiliki keinginan selain profit, ialah untuk mengamankan serta memudahkan akses bisnis mereka. Mereka berani adu tos-tosan dengan turut serta memberikan bantuan logistik di kedua pihak yang bertarung di kontestasi pilpres 2019 ini.
Kendati demikian, ketika pengusaha melakukan politik dua kaki hal ini sangat wajar untuk dilakukan. Namun, secara etika mereka cenderung mementingkan kepentingannya saja serta melihat kualifikasi mereka untuk terjun di poliitik praktis cenderung kurang dibandingkan politikus-politikus yang memang mempunyai kemampuan lebih dibidangnya.
Marketing Politik
Dalam politik, setiap kandidat atau peserta pemilihan berhak melakukan kampanye, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan tujuan untuk menarik pemilih sebanyak-banyaknya. Roger dan Storey mendefinisikan kampanye sebagai “serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu”.
Hal itu sesuai dengan dengan definisi kampanye yang disampaikan Roger dan Storey bahwa untuk menarik suara khalayak khususnya di pemilih di era millenial ini, tim kampanye harus melihat situasi dan kondisi pasar serta melakukan serangkaian perencanaan yang matang untuk menarik simpati khalayak.
Melihat perkembangan arus digitalisasi yang sangat kuat di era globalisasi ini, keadaan pasar sedikit banyak mengalami perubahan. Secara signifikan pemilih dari generasi “millenial” khususnya pemilih pemula sangat banyak, dimana kecenderungan pemilih pemula dari generasi millenial ini banyak menggunakan sosial media untuk mengakses informasi-informasi yang ada, kecenderungan ini dapat dipakai sebagai strategi tim kampanye pasangan calon untuk meningkatkan elektabilitas pasangan calon melalui media sosial.
Dengan fenomena yang saat ini dimana akses informasi yang sangat mudah di dapat melalui internet, kemudahan akses tersebut hal ini seringkali dimanfaatkan pemilih millenial untuk mengakses informasi mengenai pasangan calon yang berlaga di kontestasi politik 2019 untuk dapat melihat opsi pilihan serta melihat kinerja dan rekam jejak sang calon yang berlaga.
Bisa positif dan bisa negatf, tergantung bagaimana tim kampanye melakukan strategi untuk menjual nilai lebih dari paslon yang mana mereka sebagai tim kampanyenya serta melihat bagaimana tim kampanye melakukan mobilisasi suara di segmen pemilih millenial.
Melihat fenomena yang terjadi saat ini, penulis berharap kepada pasangan calon dan tim kampanye sang calon hendaklah bertarung dengan sehat tanpa ada pertikaian yang memungkinkan untuk memecah belah bangsa. Walaupun berbeda-beda pilihan namun, kita harus selalu ingat semboyan negara kita Bhinneka Tunggal Ika berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Siapapun yang nanti akan menjadi pemenang di kontestasi pilpres 2019 hendaklah kita sebagai rrakyat Indonesia harus bersatu serta mendukung, menghormati penuh siapapun yang menduduki kursi presiden nantinya demi Indonesia yang bersatu berdaulat adil dan makmur. (***)
Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik Universitas Jambi | Ketua Divisi Mediasi Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Jambi | Ketua Komunitas Peduli Pemilu dan Demokrasi (KOPIPEDE) Chapter Universitas Jambi